Pak Imdaad yang Mengajak Saya

Sudah dilihat 288 Kali, Hari ini saja ada 4 Kali dilihat

Catatan Rizal Effendi

PUKUL 02.00 dinihari saya terbangun. Ada sepotong WA masuk ke HP saya. Ternyata kabar duka dari Jakarta. “Telah berpulang ke Rahmatullah, ayahanda H Imdaad Hamid bin Kadir Hamid pukul 00.30 WIB. Semoga diampuni dosa-dosanya. Aamiin.”

Kabar duka itu datang dari putra almarhum, Muhammad Dimyathie Riza disertai foto dirinya bersama sang ayahanda. Kabar terbaru jenazah diterbangkan dari Jakarta Rabu ini pukul 11.00 WIB dan tiba di Balikpapan sekitar pukul 14.00 Wita. “Jenazah disemayakamkan di rumah duka Jl Bhayangkara (Jalan Wiluyo Puspoyudho, samping kantor wali kota) dan selanjutnya ba’da Ashar disalatkan di Masjid Agung At Taqwa sebelum diberangkatkan ke pemakaman,” kata salah seorang kerabat almarhum.

 

 

Pak Imdaad meninggal dalam usia 78 tahun. Ia dilahirkan di Tenggarong, 5 Juli 1944. Istri beliau, Aji Syarifah Fauzan Azimah Hanum lebih dulu tiada. Buah perkawinan mereka, selain Riza, juga Mirza Imada Zulfhiqar, Nurfhareza Mu’thia Felayathie, dan Qamara Fathasya Naazila.

Ucapan dukacita sejak dinihari sudah ramai di media sosial. Pak Imdaad salah seorang pemimpin daerah yang banyak dikagumi. Dia sempat menjadi sekretaris daerah era Pak Tjutjup Suparna. Lalu berlanjut menjadi wali kota Balikpapan dua periode, sejak 2001 sampai 2011 setelah sebelumnya menjadi Asisten IV Gubernur.

 

Sekitar 4 jam sebelum mendengar kabar tersebut, saya sempat memperbincangkan Pak Imdaad dengan Gubernur Kaltim Isran Noor. Kebetulan saya bertemu Pak Isran yang menginap di Hotel Gran Senyiur. Selain Pak Imdaad, kami juga menyinggung Pak Awang Faroek. Kedua tokoh ini sama-sama kelahiran Tenggarong dan  menjadi pemimpin daerah yang layak diteladani. Visinya sangat maju ke depan. Punya semangat tinggi memajukan daerah.

“Innalillahi wa inna ilayhi raaji’uun, kita kehilangan tokoh kharismatik daerah yang banyak jasanya. Kita memberi hormat kepada almarhum seraya berdoa semoga Allah SWT menerimanya dalam keadaan husnul khatimah,” kata Isran setelah menerima kabar duka itu.

Pak Imdaad pencetus konsep Balikpapan Madinatul Iman. Kota modern, yang tetap agamis. Juga terinspirasi dari Piagam Madinah yang digagas Nabi Muhammad SAW. Kota yang mewadahi semua suku bangsa dan agama, yang hidup berdampingan dengan nyaman dan harmonis.

 

 

Selain itu, Pak Imdaad juga kepala daerah yang pro-lingkungan. Kebun Raya Balikpapan, enklosure beruang madu di Km 23, sekolah mangrove, Waduk Manggar, kota bersih, Adipura, dan Kalpataru adalah bagian pencapaian beliau.

Pada pemilihan gubernur Kaltim tahun 2013, Pak Imdaad sempat maju bersama Ipong Muchlissoni lewat jalur independen. Walau tidak berhasil, toh suara yang diraihnya sangat signifikan. Terpilih sebagai gubernur waktu itu adalah Pak Awang Faroek Ishak bersama Pak Mukmin Faisyal.

Sebelum Pak Imdaad, beberapa waktu lalu  kita juga kehilangan dua tokoh daerah lainnya. Yaitu Pak Hermain Okol, mantan sekda dan Plt Wali Kota Balikpapan (1989-1991) dan Pak Chaidir Hafiedz, yang pernah menjabat bupati Kutai dan wakil gubernur Kaltim.

SUDAH LAMA

Saya mengenal Pak Imdaad sudah lama. Dia senior saya di Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman, kampus Flores  Samarinda. Dia sempat menjadi dosen di sana. Adik beliau, Maruji Hamid yang lebih dulu tiada, satu angkatan dengan saya.

Komunikasi saya lebih intensif lagi ketika Pak Imdaad menjadi kepala Biro Humas Pemda Kaltim pada awal 1986. Waktu itu saya sudah menjadi wartawan, sehingga sering mewawancarai. Dia menjadi juru bicara yang andal di era Gubernur H Soewandi.

Setelah itu dia dipromosikan menjadi sekda Balikpapan selama 7 tahun. Sempat ditarik menjadi asisten di kantor gubernur dan  akhirnya menjadi wali kota. Bersamaan dengan itu, saya juga menyusul pindah ke Balikpapan menjadi pemimpin redaksi SKH ManuntungG (Kaltim Post). Jadi komunikasi intensif terbangun kembali.

Pak Imdaad suka bermain tenis. Kebetulan saya punya hobi yang sama. Kami sering bermain bersama. Ramai juga bermain dengan beliau. Namanya olahraga, semua mau menang. Di bulan puasa pun, terkadang kita tetap bermain tenis. Saya mengusulkan stadion tenis kita dinamai Stadion Tenis Imdaad Hamid atau bisa juga Stadion Persiba Batakan. Itu dibangun pada era Pak Imdaad.

Menjelang pemilihan wali kota periode kedua, tahun 2006, pasangan Pak Imdaad – Mukmin Faisyal berpisah di detik terakhir. Melalui CEO Kaltim Post Pak Zaenal Muttaqin,  secara mendadak Pak Imdaad meminta saya untuk mendampingi.

Itulah ceritanya sampai saya masuk ke pemerintahan. Dari wakilnya Pak Imdaad sampai menjadi wali kota dua periode. Saya benar-benar banyak belajar dari Pak Imdaad. Beliau benar-benar menguasai ilmu pemerintahan dan mengawal Balikpapan menjadi Kota Madinatul Iman, yang nyaman dihuni. Saya tak pernah berselisih paham dengan beliau. Nyaman sekali dalam menjalankan tugas.

“Dalam memimpin dan membangun kita harus amanah. Juga harus dekat dengan rakyat. Punya visi ke depan. Kota ini harus menjadi contoh bagi kota-kota lain,” begitu sebagian pesan Pak Imdaad kepada saya ketika saya meneruskan kepemimpinannya.

Saya bertemu Pak Imdaad terakhir kali beberapa bulan lalu ketika beliau pulang beberapa minggu ke Balikpapan. Walau suaranya kecil dan didera penyakit, tapi dia sempat tertawa ketika saya ceritakan hal-hal yang lucu. Saya ingatkan juga ketika bermain tenis saya mengalahkan Pak Imdaad dengan cara meneror wasit. Pak Imdaad tersenyum. Senyum seseorang yang husnul khatimah. Selamat jalan Pak Imdaad. Kullunafsin dzaiqotul maut. (*)