Sudah dilihat 20,457 Kali, Hari ini saja ada 2 Kali dilihat
JENDELA NURANI: Pencoblosan telah usai. Kita tinggal menunggu hasilnya, siapa yang terpilih sebagai anggota DPRD, DPR Pusat, DPD hingga Presiden Republik Indonesia. Meski di ranah publik sebagai ASN saya wajib untuk bersikap netral, namun sebagai warga negara yang dilindungi undang-undang saya berhak untuk memilih nama-nama yang tertera di surat suara. Cara memilihnya adalah dengan mencoblos.
Bagi saya, dalam momentum pemilu ini harus bisa mengambil sikap dengan sikap yang paling bagus dan selamat, terutama dari sudut pandang agama. Karena seorang muslim itu pasti akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kalau saya memilih nomor 1 (AMIN), maka saya harus yakin bahwa Allah Ridho dengan amaliah saya tersebut. Demikian pula bila saya memutuskan mancoblos nomor 2 (PRABOWO-GIBRAN), sayapun tak boleh ragu bahwa tindakan saya mencoblos itu Diridhoi Allah. Hal yang sama sekiranya nomor 3 (GANJAR-MAHFUD) yang saya pilih, maka sayapun harus memantapkan hati bahwa pilihan saya itu tidak membuaNya murka.
Selanjutnya… Siapapun yang terpilih menjadi presiden, anggota DPD, DPR-RI, dan DPRD (kota dan provinsi) itulah taqdir Allah Subhanahu wa ta’ala yang tidak bisa kita tolak. Merekalah orang-orang yang diizinkan oleh Allah untuk memimpin ataupun mengurusi saya dan seluruh bangsa Indonesia. Sebagai muslim saya harus ridho dengan taqdirNya. Soal apakah yang terpilih itu yang saya coblos atau bukan, seharusnya itu tidak jadi masalah.
Mencoblos itu perbuatan (amaliah) pribadi yang harus saya pertanggung jawabkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka seperti saya sebutkan di atas, waktu mau nyoblos saya harus bertanya pada diri saya sendiri: “Apakah Allah Ridho atau tidak dengan yang saya lakukan?” Adapun menerima siapapun yang ditaqdirkan olehNya menjadi pemimpin, maka itu perkara lain lagi dalam “bab” keimanan saya. Beriman kepada taqdir baik dan buruk adalah bagian dari rukun iman yang pastinya akan dipertanggung jawabkan pula kepadaNya.
Yang penting, kalau kebijakan pemimpin nanti baik dan benar kita dukung semaksimal mungkin. Kalau kebijakannya tidak bagus, kita kritik dan nasihati dengan seelok mungkin sesuai kemampuan masing-masing. Yang pasti, selama dia masih manusia pasti ada baik dan buruknya. Saya nggak suka bersikap ekstrim, keras, apalagi main caci maki.
Dan yang terpenting dalam menjalani hidup ini adalah sempurnakan ikhtiar dengan usaha yang maksimal dan paling baik. Lalu terima taqdirnya dengan ridho. Ikuti hal-hal yang bernilai ibadah, jauhi kemaksiatan dan kedurhakaan.
Makanya, dalam hal pilih-memilih sejak dulu saya tak pernah mendukung atau menolak secara membabi buta. Seseorang kita dukung, karena kita duga kuat dia yang terbaik dari calon yang ada. Namun kita juga harus sadar bahwa itu masih belum pasti, karena kita memang tidak tahu apa kekurangan yang mungkin dia tutupi. Sebaliknya, yang tidak kita dukung juga belum tentu pasti buruk, hanya saja mungkin kita yang belum tahu berbagai kebaikannya.
Jadi, saat pilihan kita kalah dalam kompetisi kita tidak sakit hati, karena kita tahu bahwa berarti dia memang tidak ditakdirkan oleh Allah untuk terpilih. Dan ketika yang tidak kita pilih justeru yang menang, kita bisa turut bergembira karena sejatinya ini bukan peperangan untuk saling membinasakan, tapi proses pemilihan pemimpin yang nantinya akan “mengayomi” dan memperjuangkan kesejahteraan seluruh bangsa, bukan cuma yang memilih dia.
Demikian sebaliknya, bila ternyata pilihan kita menang. Memang kita patut bergembira, karena telah menjadi bagian dari penyeban kemenangan itu. Namun kita juga harus sadar bahwa kemenangan hanyalah awal dari perjuangan. Masih ada perjuangan yang panjang untuk membantu sang pilihan mewujudkan janji-janji ketika kampanye kemarin.
Inilah perjuangan sesungguhnya. Lebih berat dan lebih menguras energi dan waktu. Kita harus terus mengawal siapa yang kita dukung agar selalu berada di rel yang seharusnya. Kita tentu punya tanggung jawab yang lebih besar untuk ini. Tanggung jawab kepada rakyat dan kepada Allah Sunhanau wa ta’ala. Kita tak perlu sombong dan jumawa dengan kemengan kemarin, karena tugas berat tengah menanti di hadapan. Kemangan pilihan kita bukan jaminan kesuksesan diri dan keluarga kita sendiri.
Apalagi bila kita menyadari bahwa siapapun yang terpilih, kita toh tetap dengan kondisi yang sama dengan kemarin jika tak mau berusaha memperbaiki. Kecuali mungkin tim sukses yang memang ada di sekeliling pemimpin terpilih, besar kemungkinan mereka akan mendapat konpensasi atas jasa dan perjuangan mereka selama ini.
Sedangkan kita yang hanya pendukung (bukan tim sukses) ini? Boleh jadi malah kalah bersaing dari kubu seberang (orang yang kemarin tidak mendukung) tapi dia punya channel yang lebih mendekatkannya pada puncak kekuasaan, minimal “orang dalam”.
Saat ini yang lebih penting buat dipikirkan adalah bagaimana nasib diri kita dan keluarga (anak-ostri kita) di dunia maupun akhirat nanti. Untuk urusan dunia, ya harus rajin bekerja serta membina hubungan baik dengan sesama manusia. Untuk akhirat, perbanyak ibadah dan perbuatan baik lainnya. Dan yang paling penting dari semua itu jauhkan diri dan keluarga dari kesyirikan. Supaya hidup selalu berkah dalam iman dan taqwa.
Wallahu a’lam