Sudah dilihat 324 Kali, Hari ini saja ada 2 Kali dilihat
Begitu bunyi kalimat sebuah meme yang melintas di beranda media sosial saya. Sejenak saya terdiam dan terenyuh membayangkan kondisi para orang tua yang saat pandemi ini tengah berjuang menyambung hidup keluarga seraya harus berurusan dengan dunia Maya yang boleh jadi selama ini belum pernah dilihatnya.
Bukan sekedar sekarang harus membagi perhatian antara dunia nyata dengan dunia maya, tapi mereka juga harus merogoh kantong dalam-dalam agar sang buah hati bisa tetap sekolah di tengah masa pandemi ini. Ya, dengan belajar secara online. Solusi era milenial.
Belajar online, sepertinya memang satu-satunya solusi di saat dimana pembelajaran ofline tak mungkin dilakukan karena ancaman pandemi covid-19. Dengan interaksi dan penugasan-penugasan melalui media online kegiatan belajar mengajar tetap lancar.
Benarkah? Benarkah pembelajaran online merupakan solusi pendidikan di masa pandemi? Mungkin benar bagi sebagian orang, terutama mereka yang memang dalam kesehariannya terbiasa dengan dunia Maya. Apalagi keluarga yang setiap anggotanya masing-masing memiliki gadget.
Namun menjadi tidak mungkin, atau minimal sangat ‘menyiksa’ bagi keluarga miskin, yang jangankan membeli kuota, HP pintar saja mereka tidak punya.
Ya, kita banyak mendengar keluh kesah akan kesulitan sebagian orang tua yang kesulitan bahkan tak sanggup menyediakan sarana untuk anaknya mengikuti pelajaran online.
Bukan satu-dua, tapi mungkin ribuan. Bahkan mereka yang kelas menengah dan tidak gaptek saja tak sedikit yang bercerita soal penderitaan mereka di masa pandemi ini.
Ini bukan sekedar gaptek atau tidak gaptek, tapi lebih dalam lagi adalah perkara ekonomi. Dimana pada kebanyakan keluarga, jangankan untuk membeli HP dan kuota, untuk makan (menyambung hidup) saja mereka kesulitan.
Saya sendiri, yang mungkin belum bisa disebut fakir miskin karena masih bisa membayar zakat fitrah, merasakan ada beban berat yang tiba-tiba secara bertumpuk ditimpakan ke pundak ini melebihi dari yang biasa saya pikul.
Meski sudah biasa menggunakan HP pintar, bahkan bisa dibilang pekerjaan saya sehari-hari tak terlepas dari aplikasi di ponsel, namun tidak seluruh anggota keluarga saya memilikinya.
Terutama anak-anak saya yang masih duduk di bangku SD dan SMP. Mereka belum saya belikan HP Android dan yang sejenis. Disamping saya masih memandang mudharat karena belum dewasanya mereka, paket data yang harus disediakan juga sangat boros, bila semua anggota keluarga menggunakan HP yang menggunakan jaringan internet.
Ketika pandemi mendadak hadir di negeri ini, lalu kita para orang tua harus melakukan WFH (work from home), terasa sekali beban pengeluaran untuk kuota internet mulai meningkat. Apalagi kemudian serentak anak-anak harus belajar secara online, maka beban itu menjadi semakin berat dan menumpuk.
Akhirnya perlu membeli beberapa HP baru dan menyiapkan anggaran pembelian kuota internet yang bekali-kali lipat dari biasanya. Apalagi HP yang selama ini saya dan anak saya pakai juga pas kebetulan rusak dalam waktu yang hampir bersamaan.
Kalau anda pegawai biasa seperti saya pasti bisa membayangkan bagaimana rasanya.
Bagaimanakah pula mereka yang memang sehari-harinya, jangankan buat kuota, beli beras saja kesulitan karena penghasilan memang minus. Apalagi dalam kondisi yang terdampak pandemi ini, dimana usaha kebanyak orang mengalami penurunan yang sangat signifikan. Begitu berat dan susahnya mereka bila harus menambah beban dengan anggaran pembelian HP dan kuota yang tidak bisa sekali beli saja.
Tampaknya harus ada kesadaran di semua pihak terutama pemangku kebijakan untuk merundingkan solusi yang paling pas, agar bagaimana pendidikan tetap bisa berjalan dan masyarakat tidak menjadi berat beban kehidupannya.
Saya yakin di pemerintahan maupun lembaga-lembaga non pemerintah masih memiliki banyak pemikir jenius yang tentu bisa merancang solusi untuk mengatasi kebuntuan ini. Apalagi di negeri ini begitu banyak orang-orang cerdas yang tentunya sangat memahami bagaimana kehidupan masyarakat kecil.
Pasti ada terobosan yang brillian yang dapat dihasilkan oleh manusia-manusia pilihan dari ratusan juta penduduk yang ada di Nusantara. Insya Allah.