Berdab dalam Perbedaan
Perbedaan pendapat hingga berujung perdebatan "dahsyat" di kalangan
ahli ilmu itu adalah hal yang wajar dan biasa saja. Itu bukanlah sebuah
aib, karena memang Allah dan RasulNya sendiri membuka peluang untuk
berkembangnya interpretasi dalam banyak persoalan agama.
Sudah
teramat masyhur -misalnya- perbedaan pendapat antara Imam Syafi'i
dengan murid beliau Imam Ahmad soal Qunut Subuh. Juga berbedaan para
ulama salaf dalam persoalan-persoalan furu' yang lain dalam syari'at
bahkan cabang aqidah.
Namun hal yang patut
untuk kita garisbawahi bahkan catat dari sejarah 'khilafiyah' para ulama
tersebut adalah bahwa pertarungan mereka hanyalah dalam ranah ilmiah.
Jadi dalam berargumen mereka tidak menggunakan caci maki dan hinaan
terhadap pribadi sesama ulama.
Kalaupun ada
ujaran yang agak keras dan tajam biasanya kepada sifat bukan kepada
oknum atau individu. Kecuali tentunya dalam ilmu jarh wa ta'dil guna
menilai tingkat ke tsiqohan (kepercayaan) terhadap seorang periwayat
hadits. Maka mau tidak mau harus menyebutkan keburukan seseorang sebagai
pertimbangan menilai keshahihan riwayat yang disampaikanya.
Adapun
dalam muamalah (pergaulan) mereka, kebanyakan ulama besar tetap baik
bahkan saling mencintai dan bertoleransi. Kita tentu sering diceritakan
bagaimana Imam Syafi'i yang mensunnahkan Qunut subuh tidak melakukannya
saat menjadi imam bagi imam Ahmad. Demikian pula sebaliknya sang murid,
Imam Aahmad yang tak mensunnahkannya justeru membaca qubut subuh dalam
rangka menghormati dan memuliakan gurunya.
Berbeda
dengan sebagian muqollid (pengikut) mereka, apalagi di jaman sekarang
ini, sering sekali perdebatan soal khilafiyah ini dibumbui sumpah
serapah dan caci maki bahkan hingga mencederai harga diri orang lain.
Sering kalimat berisi vonis seperti bodoh, goblok, tolol, munafiq, ahli
bid'ah hingga syirik dan kafir begitu mudah diucapkan atau dituliskan.
Padahal
yang berdebat bukanlah ulama besar yang derajat keilmuannya setara
dengan Imam Syafi'i, Imam Nawawi, Imam Ibnu hajar, Imam As Suyuti dan
imam-imam besar lainnya. Namun sikap ngotot dan ingin menang sendiri itu
begitu terasa saat kita menyaksikan diskursus masalah keagamaan ini.
Apalagi
di media sosial, seorang yang membaca Al Qur'an belum lancar saja tidak
terhalang untuk membully para ahli ilmu yang hafal Al Qur'an dan Hadits
lengkap dengan aneka ilmu "turunannya".
Ya,
karena sarana komunikasi saat ini sangat memungkinkan bagi siapapun
berinteraksi dengan siapa saja tanpa dibatasi aturan protokuler ataupun
prosedur rumit sebagaimana di dunia nyata. Asal punya gadget dan paket
internet, kita bisa menjelajah dunia hingga masuk ke kamar pribadi para
tokoh.
Untuk bertemu dengan seorang ulama
internasional mislnya, kalau mencari ke rumahnya selain mungkin biaya
transportasi yang mahal, sudah sampai ke rumahnyapun belum tentu bisa
bertemu wajah, karena si ulama padat jadwalnya sehingga tidak berada di
tempat.
Namun bila tahu akun sosial media si
ulama, maka dengan gampangnya seseorang menyampikan isi hatinya. Tinggal
berkomentar atau menjapri melalui mesenjer, ia bisa menulis bantahan
kritik hingga caci maki dan bully kepada si ulama.
Kadang
kita miris ketika membuka akun medsos para ahli ilmu. Postingan
beliau-beliau tersebut hampir tidak pernah kosong dari komentar yang
nyinyir hingga memaki. Hampir tidak ada lagi rasa sungkan apalagi sikap
hormat terhadap orang alim yang berbeda kelompok atau pemahaman dengan
si komentator.
Ngeri memang... Tapi rasanya
kita sudah tidak mungkin merubah budaya medsos yang seperti ini, kecuali
dari diri kita sendiri. Mulai dengan menahan diri kita sendiri agar
tidak bersikap kurang ajar terhadap para tokoh terutama para ahli ilmu
khususnya tokoh dan ahli ilmu dari mereka yang tidak sekelompok dengan
kita.
Saudaraku, kepada sesembahannya orang
musyrik yang notabene adalah "berhala atau thogut" saja kita dilarang
oleh agama untuk mencaci maki, apalah lagi kepada para ulama yang tentu
saja sangat jauh ilmunya di atas kita, terlepas apakah pemahamannya kita
anggap benar atau salah.
Semoga kita selalu
dijaga oleh Allah agar istiqomah dalam akhlaqul kaarimah, sehingga
tuturkata, sikap dan perbuatan kita ko sisten dalam kesantunn dan
kemuliaan adab sehingga perbedaan paham tidak menyebabkan kita
menghalalkan ucapan dan perbuatan buruk... Aamiin
Post a Comment